Drs.Nabhany AS |
Budayawan dan Penulis Aceh Nab Bahany As meluncurkan buku “Harun Keuchik Leumik : Penyelamat Warisan Budaya” pada Kamis 16 November 2017 lalu, di Aula Kantor Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Aceh di Banda Aceh.
Walaupun itu merupakan launching ketiga, namun sambutannya tetap hangat, apalagi turut dihadiri Wakil Gubernur Aceh Nova Iriansyah.
Jika diamati sosok Harun Keuchik Leumik memang unik, selain sebagai wartawan senior, budayawan dan tokoh masyarakat Kota Banda Aceh, dia juga memiliki minat menyelamatkan warisan budaya dengan mengoleksinya.
Masyarakat umum mungkin hanya mengenalnya sebagai pengusaha toko emas, tetapi dengan membaca buku ini semakin terkuak siapa sebenarnya Harun Keuchik Leumik. Namun demikian tidak mudah bagi sang penulis Nab Bahany As untuk mendapatkan izin dari sang tokoh.
Lantas bagaimana cerita berliku sang penulis selama menyusun buku biografi Harun Keuchik Leumik ? Berikut ini wawancara Moslem bersama Nab Bahany As pada Jumat 24 November tahun lalu di sebuah warung kopi di Banda Aceh.
Nab Bahany mengatakan alasannya tertarik menulis biografi Harun, karena ada sebuah pengabdian yang sangat jarang dilakukan oleh orang lain. “Bagaimana beliau mau bersusah payah mengumpulkan peninggalan benda sejarah sebagai bukti kebudayaan, bukti peradaban Aceh yang kemudian menjadi koleksi, “ ujarnya.
Ditambahkan Nab koleksi tersebut sangat bermanfaat untuk kepentingan akademis maupun bukti kepentingan sejarah. “Inilah bukti peninggalan kebudayaan yang begitu tinggi. Hampir semua benda yang dikumpulkannya memiliki nilai seni yang tinggi, “sebutnya.
Dari situ Nab mencoba berbicara dengan Harun, bahwa apa yang dilakukannya dapat ditulis dalam sebuah buku. Tujuannya untuk meriwayatkan tentang bagaimana kisah sulitnya mengumpulkan benda-benda seni budaya, sebagai warisan peradaban Aceh yang lalu.
Dirinya sempat beberapa kali berdiskusi dengan Harun untuk menjelaskan maksud penulisan buku tersebut. Harun sempat keberatan, dengan alasan merasa belum layak biografi dirinya dipublikasi.
Seiring dengan berjalannya waktu Nab berhasil meyakinkan Harun hingga proses penulisan buku berjalan.
Menurutnya selama melakukan diskusi dan wawancara, ia bisa langsung memahami apa yang disampaikan Harun. “Mungkin karena saya sebagai peminat sejarah dan pemerhati kebudayaan Aceh. Dari sisi itu beliau melihat latar belakang saya dan mempercayai saya untuk menulisnya. Selama proses penulisan, saya tidak begitu sulit untuk memahaminya, “ paparnya.
Nab mengenal Harun sejak 1993, sejak itu hubungan keduanya semakin intens dengan seringnya melakukan obrolan, terutama tentang sejarah dan budaya. Setiap ada perkembangan terbaru, Harun memberikan informasi kepada Nab. Proses penggarapan buku memerlukan waktu hampir 1 tahun.
Nab berkisah banyak proses yang harus dilaluinya hingga buku bisa muncul. Seperti saat melakukan wawancara, ia harus bisa menyesuaikan waktu dengan Harun. Proses wawancara berlangsung hampir 5 bulan, menurutnya Harun merupakan orang yang sangat menghargai waktu.
Pada tahun 2004 buku berhasil terbit, dan peluncuruan pertama diadakan di rumah Harun, saat itu turut dihadiri Gubernur Aceh Abdullah Puteh. Lalu setelah tsunami dilakukan peluncuran kedua pada tahun 2012. Edisi kedua ini ada sedikit revisi, dan penambahan materi.
Nab menjelaskan yang paling monumental pada cetakan ketiga yang lebih lengkap, ada penambahan materi hampir 100 halaman revisi, kemudian dilaunching di Kantor PWI Aceh.
Sosok Harun Menurut Nab
Lantas bagaimana sosok Harun di mata sang penulis ? Menurutnya, Harun merupakan tokoh autodidak yang sangat multidimensi. “Kolektor itu nyata sekali, sebagai budayawan dan seniman menguasai betul dalam bidang itu, sebagai pengusaha emas, sebagai tokoh pers dan wartawan, dia orang pertama yang mendapat card number one, “ urainya.
Nab juga menilai ilmu autodidak yang dimiliki Harun luar biasa, terutama dalam memahami benda-benda budaya. “Mungkin ada kolektor-kolektor lain, namun tidak menguasai tentang filosopi seperti yang dimiliki Harun, yang tidak ada secara akademis, “katanya.
Terkait dengan ilmu yang dimiliki Pak Harun secara autodidak, dalam buku Nab khusus menyediakan satu sub bab dengan judul Arkeolog Alamiah. Menjelaskan penguasaan benda-benda budaya sangat detil yang jarang didapat akademisi, tapi Harun sangat menguasainya.
Oleh karena itu Nab berharap ada Perguruan Tinggi di Aceh yang menaruh perhatian ilmu yang dimilikinya, untuk memberikan penghargaan berupa doctor honoris causa.
Diujung wawancara Nab berharap dokumentasi yang dilakukan Harun bagi masyarakat, bisa menjadi sebuah pedoman yang harus diikuti oleh generasi yang akan datang. Apa yang dilakukannya seharusnya kerja pemerintah, apalagi sebagai kolektor butuh biaya sangat besar.
Tidak semua orang mau melakukannya karena uangnya tidak berputar, secara bisnis rugi. Harun mau melakukannya semata pengabdian menyelamatkan warisan budaya indatu kita di Aceh, demikian pungkasnya
Noni Soraya