Terlahir dari aliran darah ulama, menjejak kaki pertama di bumi juga ditanah Dayah, begitulah riwayat ulama dari Blang Blahdeh, Bireuen, Abu Tumin, dari sejak lahir dia sudah berada di lingkungan Dayah (pesantren), hingga usia senjapun kakinya tak berpindah dari tanah Dayah.
Sekilas Abu Tumin tampak sebagaimana lelaki Aceh lainnya, berkulit hitam, kurus dan berambut lurus, memiliki tinggi sekitar 1,75 meter, wajahnya khas Aceh, dengan senyum yang tak pernah lepas, meski tak mudah untuk melihat deretan gigi lewat sekilas senyum yang diperlihatkan Abu Tumin.
Abu Tumin, adalah sosok ulama kharismatik di Nanggroe Aceh yang sangat dicintai masyarakat. Nama lengkapnya Teungku Muhammad Amin bin Mahmud, cucu almarhum Almukarram Tgk H Hanafiah, pendiri Pesantren Al-Madinatuddiniyah Blang Blahdeh, Bireuen.
Sudah sejak dari kecil, Abu Tumin sudah memperlihatkan minat besar dalam belajar agama, dirinya tampak rajin belajar semua bidang ilmu agama di pesantren, tak heran ketika dewasa sangat tegas dalam memberi sesuatu keputusan yang menyangkut dalam hal fatwa agama. Karena itu, Abu Tumin Blang Blahdeh termasuk salah
seorang ulama Aceh yang diperhitungkan dan menjadi rujukan untuk semua orang.
Kepiawaian Abu Tumin dalam m
emberi fatwa agama, telah mengundang perhatian besar dari semua pihak, khususnya pihak pemerintah Jakarta, baik itu Menteri maupun Panglima Militer, apabila datang ke Aceh belumlah sempurna tugasnya, apabila belum berjabat tangan serta silaturahmi dengan ulama kharismatik ini.
Melalui masa kecil di Dayah Blang Blahdeh, Muhammad Amin kecil menimba ilmu langsung dari orang tuanya maupun pada sang kakek yang dikenal “Teungku Tua”, mulai dari belajar A Lif Ba, hingga menamatkan Juz Amma, melanjutkan ke Al-Qur’an Nur Karim, hingga memulai belajar kitab-kitab dasar dari ilmu agama.
Beberapa waktu lamanya Muhammad Amin sudah pada kesimpulan untuk melanjutkan menimba ilmu yang lebih tinggi, setelah dia memandang cukup sudah sebagian ilmu dari Dayah kakeknya untuk mengantar dirinya memahami kitab-kitab lanjutan yang lebih tinggi.
Pada suatu ketika, dipagi hari, dibawah sinar matahari yang cerah, takdir telah mengantarkan pemuda belia Muhammad Amin melangkahkan kaki pergi merantau, tujuannya tanah bertuah Labuhan Haji, perjalanan jauh dilakukan ke Aceh Selatan, melintasi sungai, melewati pegunungan, mendaki keangkeran Gunung Paro, Gle Kulu, Puncak Geurute dan beberapa gunung di barat selatan Aceh harus dilalui Muhammad Amin muda.
Perjalanan jauh harus ditempuh, pada masa dengan kondisi jalan yang masih apa adanya, sebagian besar belum beraspal, sungai belum memiliki jembatan, sehingga rakitlah untuk kenderaan penyeberangan, jalan yang ditempuh Abu Tumin muda antara Bireuen – Tapak Tuan menghabiskan waktu perjalanan berminggu-minggu lamanya.
Tak heran, waktu itu antara Bireuen dan Tapaktuan jalannya masih berlobang dan belum diaspal, belum lagi lintasan barat selatan Aceh masih dalam kondisi penggunaan rakit, ditambah suasana negara baru saja lepas dari penjajahan dengan kondisi perang antara pejuang Darul Islam/ TII melawan pemerintah Jakarta.
Pada masa serba penuh persoalan itulah Abu Tumin menempuh perjalanan intelektual kekawasan selatan Aceh, menuju ke sebuah Dayah ditepi pantai Labuhan Haji, disanalah Al-Mukarram Syeh H.Muhammad Waly Alkhalidy( Abuya Muda Waly) memimpin sebuah dayah Salafi dengan santri yang berasal dari berbagai wilayah di Aceh.
Diantara deburan ombak dan hembusan angin pantai Samudera Hindia, disanalah Abuya Muda Waly menurunkan ilmu agama kepada muridnya, tidak hanya untuk kalangan manusia, konon juga Abuya membuka pengajian malam untuk bangsa Jin dibagian belakang pondok pesantren Dayah Darussalam-Labuhan Haji.
Tak jelas berapa lama Abu Tumin belajar agama atau istilah “meudagang” dinegeri itu. Dan yang pasti, pada tahun 1958 beliau kembali ke Negeri Jeumpa, Blang Blahdeh, dari menuntut ilmu dan meneruskan memimpin Dayah yang telah dijalankan ayahandanya almarhum Tgk Sjech Mahmud, atau lebih dikenal dengan nama Teungku Muda.
Abu Tumin kini adalah merupakan tempat rakyat Aceh bertanya berbagai permasalahan, khususnya menyangkut dalam bidang keagamaan, sekaligus sering rakyat meminta pendapat bila sudah terbentur dengan berbagai permasalahan, baik dalam urusan rumah tangga, dalam bidang kemasyarakatan, dan bahkan fatwa agama sekalipun bila sudah terbentur dengan berbagai permasalahan menyangkut aqidah.
Ulama yang dicintai umat itu, dimasa usianya menjelang senja berbagai kegiatan keagamaan terus giat dilakukan, apakah dalam hal tausyiah agama, pengajian, tafsir Qur’an dan hadist, baca do’a untuk keselamatan , mengupas berbagai isi kitab dan bahkan ikut undangan acara penyambutan tamu negara yang datang ke Aceh.
Sedangkan kegiatan untuk hari Sabtu dan Minggu, Abu Tumin selalu memberi pengajian untuk ulama Dayah, yaitu di Peureulak Aceh Timur, Lhok Seukon dan Krueng Geukueh, Aceh Utara, juga di Mesjid Agung Kota Bireuen dan Mesjid besar Kuta Blang Bireuen, Kembang Tanjung, Pidie, Geumpang Pidie , Abdya, Aceh Selatan, Mubahasah Ulama Dayah Aceh Barat ( MUDAB) dan mengupas berbagai isi kitab di Dayah Darul Munawwarah, Abu Kuta Krueng, Pidie Jaya.
Menurut Tgk Khaidir bin Tgk Jailani, ketua Pengurus Dayah Al-Madinatuddiniyah Babussalam menyebutkan, lazimnya kalau dirumah Abu Tumin selesai shalat subuh, yaitu berzikir sampai waktu untuk sarapan pagi, kemudian pukul 09.00 pagi mulai mengajar pengajian untuk santri sampai waktu menjelang shalat zuhur.
Kemudian selesai shalat zuhur, dia Istirahat sebentar, itupun bila tak ada tamu yang datang. Tapi biasanya Abu selesai istirahat , terlihat selalu sibuk menerima tamu yang datang untuk berbagai keperluan sampai menjelang magrib, kata Tgk Khaidir.
Dengan demikian, hampir tak ada waktu baginya untuk bersama keluarga dan cucunya tercinta, karena masyarakat masih banyak membutuh bimbingan dari Abu Tumin.
Dalam berbagai kesempatan Abu Tumin selalu terlihat dalama deretan bersama ulama lain, hadir dalam kegiatan pemerintahan Aceh, di Kabupaten, baik yang resmi maupun tidak bersama Abu Usman Kuta Krueng, Abu Hasanoel dan juga sejumlah ulama lainnya selalu tampak duduk dibarisan depan.
Sekarang kelihatan ulama kharismatik ini fisiknya sudah kian agak sedikit melemah. Bankan beberapa waktu yang lalu, beliau pernah di opname di Hospital Tawakkal, Kuala Lumpur, Malaysia, akibat sakit yang diderita.
Namun demikian,” sekarang Abu Tumin sehat-sehat aja, walaupun fisiknya sudah agak menurun, itu faktor umur yang sudah lanjut”, ujar salah seorang santrinya.
“Kami selalu berdo’a semoga ulama yang dicintai umat itu sehat selalu dan panjang umur, karena rakyat masih banyak membutuhkan ilmu agama dan bimbingan darinya”, pinta Tgk Zainuddin Albiruny seorang warga Bireuen.
Umar A Pandrah.