Siapa menyangka di tengah keramaian kawasan Lampriet, tidak jauh dari RSUZA yang megah, ada jejak sebuah sejarah Aceh yang masih tersisa. Yakni dikenal dengan Asrama Dewan, tempat tinggal pejuang Darul Islam (DI/TII) Aceh yang masih berada saat ini.
Jika ditanya pada generasi Aceh saat ini kemungkinan besar tidak mengetahui. Padahal disinilah sebuah sejarah Aceh yang tidak boleh dilupakan, karena merupakan bagian dari perjuangan Aceh menuntut sebuah keadilan seusai kemerdekaan 17 Agustus 1945. Ketika daerah-daerah lain sudah bebas, dan damai mulai menata daerahnya, Aceh tetap berkecamuk dalam konflik.
Berkaitan dengan peringatan 13 tahun damai Aceh saat ini, jika direfleksi kembali ke masa lalu. Sejarah menunjukkan dulunya juga pernah terjadi proses perdamaian, antara DI/TII Aceh dengan pemerintah pusat. Kemudian timbul pergolakan GAM, yang kemudian juga berakhir di meja perundingan lewat Mou Helsinki.
Sejarah Asrama Dewan
Tengku Daud Beureuh memberontak menuntut kepada pemerintah pusat atas penggabungan provinsi Sumut dan Aceh menjadi satu provinsi, juga ingin mendirikan negara Islam.
Dia merasa keberadaan Aceh seperti tidak diakui, padahal sumbangsih dan peran Aceh dalam mendukung kemerdekan Republik Indonesia sangat besar. Akibatnya Tgk. Daud Beureuh mendirikan DII (Darul Islam Indonesia) dan memberontak terhadap pemerintah pusat.
Dilansir dari buku “Api Nasionalisme” yang ditulis oleh Hardi, digambarkan bagaimana alotnya proses perundingan antara DI/TII dan Pemerintah Pusat. Apalagi sempat terjadi perpecahan, antara kelompok keras pengikut Tgk. Daud Beureueh, dan kelompok moderat yang membentuk dewan revolusi yang dipimpin oleh Ayah Gani Usman.
Hardi sendiri merupakan Wakil Perdana Menteri II, yang ditugaskan untuk memimpin proses perdamaian, hingga dikenal dengan Misi Hardi.
Usai sebuah konflik yang telah begitu banyak jatuh korban dari rakyat Aceh, akhirnya terjadi kesepakatan damai antara Darul Islam dan pemerintah Indonesia.
Melanjutkan damai tersebut pemerintah RI tidak main-main. Pengikut DI/TIIdiberikan fasilitas hidup. Sementara pengikut DI yang memiliki jabatan juga diberikan fasilitas rumah.
Kemudian kompleks perumahan ini dikenal dengan Asrama Dewan, atau lebih lengkapnya Asrama Dewan Revolusi, namun T Daud Beureuh sendiri tidak bersedia untuk ikut tinggal.
Dikepung Bangunan Megah
Jika dilihat sekilas dari jalan raya kawasan Lampriet, Asrama Dewan tampak sangat sederhana. Pemandangan ini tentu saja sangat berbeda dengan bangunan ruko, dan rumah di sekitarnya yang tampak megah.
Seiring dengan pertumbuhan pembangunan dan perkembangan zaman, Asrama Dewan seperti dikepung oleh bangunan megah. Apalagi tidak tampak ada semacam papan nama, atau tulisan apapun yang menunjukkan nama asrama bersejarah ini.
Saat ini Asrama Dewan dihuni oleh generasi kedua. Generasi pertama umumnya sudah tiada, kalaupun ada tinggal para janda. Sementara generasi kedua merupakan keturunan atau anak generasi pertama.
Generasi kedua ini yang kemudian meneruskan untuk tinggal di asrama tersebut. Salah satunya Nurhayati, putri anggota TII Mayor Gade Saby, yang mulai tinggal di Asrama Dewan sejak masih gadis hingga kini.
Menurut Nurhayati yang kini tinggal di bekas rumah Letnan Ismail Sabi, yang kala itu pindah tugas ke Lhok Seumawe, penghuni asrama dewan semula ada 9 orang, yang terbagi atas 2 barak. Namun saat ini rumah di Asrama Dewan mulai berubah, dibandingkan dulu yang sekilas seperti asrama tentara.
Nurhayati berkisah, dulunya kondisi rumah di asrama ini sangat sederhana, dengan bangunan tidak permanen. Berdinding kayu dan beratapkan rumbia. Tidak heran ketika hujan kerap bocor di sana sini.
Menampung air dengan ember kerap dilakukan oleh Nurhayati dan keluarga pada saat itu. Seiring dengan berjalannya waktu, dengan mengandalkan uang pensiun seadanya, sedikit demi sedikit penghuni asrama melakukan perbaikan. Seperti melakukan rehab dengan menganti atap meggunakan seng, dan memasang lantai keramik.
Lain lagi kisah Cut Andian yang kini telah berusia 76 tahun, istri anggota TII Mayor Hasballah Ak. Dia bercerita sudah tinggal sejak tahun 1970-an. Rumah yang dihuninya hingga saat ini, sebelumnya pernah di tinggali oleh Hasballah Saleh.
Namum kemudian keluarga Hasballah Saleh memilih pindah. Andian mengatakan dirinya sempat ingin membeli, namun tidak boleh. Sementara untuk dihuni turun temurun juga tidak boleh.
Hal inilah yang membuatnya bertanya-tanya tentang status rumah asrama yang dihuninya hingga kini.
Mereka tetap tinggal di Asrama Dewan hingga sekarang. Namun yang menjadi kekhawatiran, sampai kapan mereka bisa tinggal. Jika dipindahkan apakah ada biaya ganti rugi, atau disediakan tempat lain.
Kekhawatiran ini wajar karena di antara mereka bahkan ada yang belum memiliki tanah, dan rumah sendiri. Apalagi konon harga tanah di kawasan Lampriet terus naik.
Soraya.
Jika ditanya pada generasi Aceh saat ini kemungkinan besar tidak mengetahui. Padahal disinilah sebuah sejarah Aceh yang tidak boleh dilupakan, karena merupakan bagian dari perjuangan Aceh menuntut sebuah keadilan seusai kemerdekaan 17 Agustus 1945. Ketika daerah-daerah lain sudah bebas, dan damai mulai menata daerahnya, Aceh tetap berkecamuk dalam konflik.
Berkaitan dengan peringatan 13 tahun damai Aceh saat ini, jika direfleksi kembali ke masa lalu. Sejarah menunjukkan dulunya juga pernah terjadi proses perdamaian, antara DI/TII Aceh dengan pemerintah pusat. Kemudian timbul pergolakan GAM, yang kemudian juga berakhir di meja perundingan lewat Mou Helsinki.
Sejarah Asrama Dewan
Tengku Daud Beureuh memberontak menuntut kepada pemerintah pusat atas penggabungan provinsi Sumut dan Aceh menjadi satu provinsi, juga ingin mendirikan negara Islam.
Dia merasa keberadaan Aceh seperti tidak diakui, padahal sumbangsih dan peran Aceh dalam mendukung kemerdekan Republik Indonesia sangat besar. Akibatnya Tgk. Daud Beureuh mendirikan DII (Darul Islam Indonesia) dan memberontak terhadap pemerintah pusat.
Dilansir dari buku “Api Nasionalisme” yang ditulis oleh Hardi, digambarkan bagaimana alotnya proses perundingan antara DI/TII dan Pemerintah Pusat. Apalagi sempat terjadi perpecahan, antara kelompok keras pengikut Tgk. Daud Beureueh, dan kelompok moderat yang membentuk dewan revolusi yang dipimpin oleh Ayah Gani Usman.
Hardi sendiri merupakan Wakil Perdana Menteri II, yang ditugaskan untuk memimpin proses perdamaian, hingga dikenal dengan Misi Hardi.
Usai sebuah konflik yang telah begitu banyak jatuh korban dari rakyat Aceh, akhirnya terjadi kesepakatan damai antara Darul Islam dan pemerintah Indonesia.
Melanjutkan damai tersebut pemerintah RI tidak main-main. Pengikut DI/TIIdiberikan fasilitas hidup. Sementara pengikut DI yang memiliki jabatan juga diberikan fasilitas rumah.
Kemudian kompleks perumahan ini dikenal dengan Asrama Dewan, atau lebih lengkapnya Asrama Dewan Revolusi, namun T Daud Beureuh sendiri tidak bersedia untuk ikut tinggal.
Dikepung Bangunan Megah
Jika dilihat sekilas dari jalan raya kawasan Lampriet, Asrama Dewan tampak sangat sederhana. Pemandangan ini tentu saja sangat berbeda dengan bangunan ruko, dan rumah di sekitarnya yang tampak megah.
Seiring dengan pertumbuhan pembangunan dan perkembangan zaman, Asrama Dewan seperti dikepung oleh bangunan megah. Apalagi tidak tampak ada semacam papan nama, atau tulisan apapun yang menunjukkan nama asrama bersejarah ini.
Saat ini Asrama Dewan dihuni oleh generasi kedua. Generasi pertama umumnya sudah tiada, kalaupun ada tinggal para janda. Sementara generasi kedua merupakan keturunan atau anak generasi pertama.
Generasi kedua ini yang kemudian meneruskan untuk tinggal di asrama tersebut. Salah satunya Nurhayati, putri anggota TII Mayor Gade Saby, yang mulai tinggal di Asrama Dewan sejak masih gadis hingga kini.
Menurut Nurhayati yang kini tinggal di bekas rumah Letnan Ismail Sabi, yang kala itu pindah tugas ke Lhok Seumawe, penghuni asrama dewan semula ada 9 orang, yang terbagi atas 2 barak. Namun saat ini rumah di Asrama Dewan mulai berubah, dibandingkan dulu yang sekilas seperti asrama tentara.
Nurhayati berkisah, dulunya kondisi rumah di asrama ini sangat sederhana, dengan bangunan tidak permanen. Berdinding kayu dan beratapkan rumbia. Tidak heran ketika hujan kerap bocor di sana sini.
Menampung air dengan ember kerap dilakukan oleh Nurhayati dan keluarga pada saat itu. Seiring dengan berjalannya waktu, dengan mengandalkan uang pensiun seadanya, sedikit demi sedikit penghuni asrama melakukan perbaikan. Seperti melakukan rehab dengan menganti atap meggunakan seng, dan memasang lantai keramik.
Lain lagi kisah Cut Andian yang kini telah berusia 76 tahun, istri anggota TII Mayor Hasballah Ak. Dia bercerita sudah tinggal sejak tahun 1970-an. Rumah yang dihuninya hingga saat ini, sebelumnya pernah di tinggali oleh Hasballah Saleh.
Namum kemudian keluarga Hasballah Saleh memilih pindah. Andian mengatakan dirinya sempat ingin membeli, namun tidak boleh. Sementara untuk dihuni turun temurun juga tidak boleh.
Hal inilah yang membuatnya bertanya-tanya tentang status rumah asrama yang dihuninya hingga kini.
Mereka tetap tinggal di Asrama Dewan hingga sekarang. Namun yang menjadi kekhawatiran, sampai kapan mereka bisa tinggal. Jika dipindahkan apakah ada biaya ganti rugi, atau disediakan tempat lain.
Kekhawatiran ini wajar karena di antara mereka bahkan ada yang belum memiliki tanah, dan rumah sendiri. Apalagi konon harga tanah di kawasan Lampriet terus naik.
Soraya.