Abu Mudi, demikian sapaan dikalangan santri kepada Tgk H Hasonoel Bashry yang sekarang menjabat sebagai pimpinan Dayah Ma’hadal Ulum Diniyyah Islamiyyah (Mudi Mesra) Samalanga, Bireuen.
Abu Mudi kelahiran 26 sya’ban 1368 H atau bertepatan 21 Juni 1949 M di Krueng Geukueh, Kabupaten Aceh Utara. Putra Tgk H Gadeng dan Ummi Manawiah berasal dari keluarga latar belakang agama yang sangat kuat.
Tak ada orang tak mengenal Tgk H Gadeng. Dia seorang pemuka agama yang sangat disegani di Kecamatan Dewantara. Selain ayah Abu Mudi tempat masyarakat bertanya dan berdiskusi, ia juga salah seorang tokoh keteladanan dalam membina masyarakat.
Berangkat dari itulah, keberhasilan seorang ayah berhasil mendidik anaknya. Anak pertama Tgk H Gadeng adalah Abu Mudi yang berhasil mencapai taraf keilmuan dalam dunia Pondok Pasantren. Sedangkan anak keduanya, yaitu Tgk H Samsul Bahri mencapai tingkat yang perlu diperhitungkan dalam dunia politik.
Karena itulah, sosok Abu Mudi yang ditanamkan ayahnya menjadi sosok yang sangat menghargai waktu dan mencintai ilmu Allah melebihi segalanya.
Abu Mudi tampil sebagai pribadi yang tekun belajar dan tidak pernah bosan melakukan kajian tentang ilmu Allah, baik untuk dunia dan akhirat. Dia dimasa kecil masuk Sekolah Rendah Islam (SRI) Krueng Geukueh. Setelah itu melanjutkan pendidikan pada sebuah lembaga pendidikan keguruan, yaitu pendidikan guru agama pertama (PGAP) dikawasannya.
Setelah tamat PGAP itu, Abu Mudi memilih pendidikan di Pasantren Ma’hadal Ulum Diniyyah Islamiyyah(MUDI) Mesjid Raya Samalanga dibawah pimpinan Al-Mukarram Tgk H Abdul Aziz Bin H Shaleh.
Dalam pembelajaran sistem klasikal Dayah tradisional itu terbentuk halaqah dilalui dengan penuh semangat sampai tahun 1972. Dalam Dayah Mudi tersebut, Abu Mudi memperoleh bimbingan agama dari gurunya, yaitu dari Tgk H M Daud Abbas asal Hagu Barat Laut Lhokseumawe dan Tgk H Ibrahim Bardan (Abu Panton), sekarang Pimpinan Dayah Malikussaleh, Panton Labu, Aceh Utara.
Kecintaannya pada ilmu agama terus bertambah, membuat dirinya betah untuk terus bergelut ilmu agama di Dayah. Setelah tamat jadwal pembelajaran kurikulum wajib, Abu Mudi juga mendaftarkan diri dalam tahap pembelajaran lanjutan, dan ditahun itu pula ia memasuki kelas Bustanul Muhaqqiqin hingga selesai tahun 1975.
Perlu diketahui, Butanul Muhaqqiqin adalah merupakan kelas khusus pengkaderan para santri – santri berbakat yang dibimbing langsung oleh Abon H Abdul Aziz sebagai pimpinan Dayah Mudi.
Waktu itu, Abu Mudi mendapat gemblengan khusus dari Abon Aziz dalam mengurus adminitrasi Dayah. Dalam kesempatan itu pula tak perlu heran, Abu Mudi juga ditunjuk menjabat tugas sebagai sekretaris umum Dayah Mudi sejak 1972 sampai 1975.
Kemudian, setelah sukses memenuhi tanggung jawabnya dalam mengurus abminitrasi Dayah, Abu Mudi juga tahun 1975 diangkat sebagai Ketua umum Dayah.
Sementara itu pula ,Abu Mudi pada tahun 1978 dalam usia menanjak 29 tahun menikahi putri sulung Abon Aziz, yaitu Shalihah.
Dari hasil perkawinannya itu, Abu Mudi telah kini telah dikarunia enam orang putra dan putri. Dinataranya: Zahrul Mubarrak, Zahrah Mahfudhah, Nurul ‘Alaa Rabi’ah, Muhammad Thaifur, Azizi dan Muhaimin.
Abu Mudi, dalam pengabdian tulus didunia pondok Pasantren terus mendapat peningkatan. Puncaknya adalah pada tahun 1988, saat itu al-Mukarram Abon Abdul Aziz menghadap Sang Khaliq, yaitu tugas memimpin Dayah Mudi harus dijalankan olehnya.
Meskipun tugas mengelola Dayah ini agak berat, para alumni Dayah Mudi ini harus melakukan musyawarah. Kemudian Badan Musyawarah Dayah itu menetapkan, bahwa Abu Mudi menjadi pimpinan Dayah Mudi itu sampai hari ini.
Sadar akan tantangan zaman dan kompleksitas persoalan kekinian, dituntut Abu Mudi harus mengambil satu langkah spetakuler. Dianya mendirikan perguruan tinggi dengan nama, Sekolah Tinggi Agama Islam (STAI) al-Aziziyah.
Tak dapat dibayangkan, saat itu kritikan tajam yang diterima dari berbagai kalangan Dayah terus berdatangan, namun STAI al-Aziziyah terus berjalan apa adanya. Sehingga kehadiran STAI tersebut dapat diterima kehadirannya oleh komunitas Dayah itu sendiri.
Bagi Abu Mudi, setiap hari tak ada ruang baginya untuk santai bersama keluarga. Sejak pagi selesai shalat subuh, dia terus mengajar ilmu agama kepada muridnya. Selain jadwal menerima tamu yang datang, juga masyarakat silih berganti datang bertanya berbagai persoalan dalam masyarakat, serta hukum – hukum yang berkenaan dalam kehidupan masyarakat sehari- hari.
Sementara itu, kata Abu Sayed Mahjiddin, Abu Mudi selalu mendapat jemputan ceramah agama diberbagai tempat, dan bahkan Abu Mudi juga sebagai guru besar diberbagai Cabang Dayah al-Aziziyah di nusantara.
Bahkan Abu Mudi sering hadir keluar negeri dalam memberi tausyiah agama kepada masyarakat yang membutuhkannya.Karena itu tak perlu heran, Abu Mudi sering meninggalkan Dayah Mudi, karena ummat banyak membutuhkan santapan rohani darinya.
Hal ini juga diakui oleh Ketua STAI al-Aziziyah Tgk Muntasir A.Kadir,S.Ag,MA kepada tabloid moslem, bahwa Abu Mudi waktu baginya sangat terbatas. Selain dia tempat masyarakat ingin bertanya.
Juga banyak berbagi persoalan ummat diabad ini harus dijawab dari berbagai persoalan. “ Ini belum lagi dalam pengajian khusus di 220 cabang Dayah al-Aziziyah yang tersebar di Nanggroe Aceh, dan bahkan dalam negeri dan luar negeri Abu Mudi juga tampil dalam memberi tausyiahnya”, ujar Tgk Muntasir. Selamat berjuang.
Umar A Pandrah.