Pimpinan Dayah Ule Titi, Abu Cut. |
Begitulah suasana Dayah Ule Titi di jalan Blang Bintang, letaknya sekitar 12 kilometer di arah barat Banda Aceh, semula Dayah ini terletak persis di ujung jembatan Lambaro,kemudian dengan adanya perluasan Krueng Aceh pada tahun 1987, dipindahkan ke lokasi sekarang.
Dayah Ule Titi memiliki sekitar 1750 santri, dengan rincian 750 santri pria dan lebih1000 santri wanita, mereka belajar diasuh oleh 120 guru, demikian dijelaskan Ketua UmumYayasan Dayah Ule Titi Tgk.Muhammad Rizal (Abu Cut).
Para santri pria sedang berada didepan bilik dayah |
Pimpinan pertama Dayah adalah Abu Syeh Saman, diperkirakan seorang ulama yang datang dari jazirah Arabia, beliau merintis Dayah Ule Titi milik masyarakat Lambaro dizaman penjajahan Belanda.
Pengajian di Dayah kemudian mengalami kemunduran, tidak diketahui pasti apapenyebabnya, sebagian memperkirakan karena kondisi perang atau konflik sosial di dalammasyarakat, begitu penjelasan Abu Cut.
Komplek Dayah Ule Titi.Dayah Ule Titi dilanjutkan oleh generasi kedua Abu Ishak Al Amin MeunasahKumbang dari Aceh Utara, kemudian berlanjut kepada Abu Athailah yang kini menjadipimpinan Dayah.
Santri wanita di depan bilik mereka |
Dibawah bimbingan Abu Atahailah, Dayah Ule Titi membuka 9 tingkatan kelaspengajian, dimulai dengan kelas 0 atau kelas Tajhizi untuk mereka yang mulai mengaji, danbelajar kitab-kitab Jawo yang masih memiliki baris, kemudian kelas 1-7 belajar kitab yanglebih tinggi dalam bahasa Arab tanpa baris.
Pada kelas Tajhizi hingga kelas 7 masih dibimbing oleh para guru yang berjumlah120 orang, namun setelah naik ke kelas 8, pengajian langsung dibawah bimbingan AbuAthailah, mulai saat itu tidak ada lagi kenaikan kelas, pengajian terus dilakukan selama masihmondok di Dayah Ule Titi.
Selama mengikuti pengajian, para santri diwajibkan dengan peraturan yang sangatketat, mereka tidak boleh keluar Dayah, karenanya di dekat pintu masuk Dayah dibangunsebuah pos jaga, setiap yang masuk dan keluar harus melapor pada petugas jaga, mereka juga tidak boleh merokok, membawa hand phone dan membawa kenderaan.
Peraturan ketat itu akan sirna ketika para santri telah duduk pada kelas 8, merekasudah boleh keluar dan menggunakan HP, juga merokok sudah diperbolehkan, keistimewaan kelas 8 ini di sebabkan para santri umumnya telah masuk dalam usia dewasa, sebagian sudah diangkat menjadi guru untuk para santri di kelas 0 hingga 7 oleh pimpinan Dayah.
Abu Cut menjelaskan, Dayah Ule Titi mengadakan kelas Tajhizi untuk memberi waktu yang lama kepada para santri dalam belajar kitab, mereka belajar kitab yang masih berbaris dahulu di kelas Tajhizi, agar nanti tidak kaget lagi ketika masuk ke tahab kitab tanpa baris.
Kelas Tajhizi ini dimaksudkan untuk memperpanjang waktu belajar kitab tanpa baris,karena ketika masuk pada kelas I juga masih belajar kitab tanpa baris, kelas Tajhizi memiliki4 lokal, setiap lokal diasuh oleh 5 orang guru.
Para santri yang masuk ke kelas Tajhizi umumnya telah menyelesaikan pendidikanpada Sekolah Dasar (SD), tetapi itu tidak harus, mereka yang sudah dewasa juga boleh masuk pada kelas Tajhizi sebagai kelas pemula di Dayah Ule Titi.
Untuk masuk kelas Tajhizi, para santri di uji membaca al qur,an secara baik, kalau tidak lulus, mereka tetap di terima, dan diarahkan ke anak cabang Yayasan Dayah Ule Titi yang lain, saat ini sudah memiliki 36 cabang diseluruh Aceh, demikian Abu Cut.
Pelajaran yang diberikan pada kelas Tajhizi para santri mulai belajar Qur,an, fiqih,tauhid, tasawuf, kitab-kitab alat (nahu +syaraf), qira,ah, lauradh, sejarah nabi, kitab ahlak dan kitab melayu lainnya.
Kelas selanjutnya belajar kitab yang lebih tinggi, seperti kitab matan taqrib untukkelas I, kitab Bajuri untuk kelas II, kitab Iyannah (jilid 1-2) untuk kelas III, kitab Iyannah(jilid 3-4) untuk kelas IV, kitab Mahali untuk kelas V, kelanjutan kitab Mahali untuk kelasVI, melanjutkan kembali kitab Mahali untuk kelas VII.
Pada kelas VIII para santri yang sebagian mereka sudah menjadi guru untuk kelasdibawahnya, sudah belajar kitab tinggi seperti Fathul Wahab dan Bujairimi dibawah bimbingan langsung Abu Athailah.
Sebuah kelas khusus juga dibuka untuk masyarakat yangbelajar pada malam hari.Manyoritas santri yang belajar pada Dayah Ule Titi berasal dari Aceh, sebagian dari luar daerah dan ada yang berasal dari Malaysia, para santri yang berasal dari Malaysia sebelumnya mencapai 1 kabilah, namun kini hanya tinggal 3 orang lagi, mereka kembali kenegaranya karena kondisi konflik di Aceh, jelas Abu Cut.
Sekarang banyak tamu Malaysia sering datang ke Dayah Ule Titi, mereka punya rencana untuk membawa santri ke Dayah Ule Titi, jelas Tgk.Muhammad Rizal.
Secara keseluruhan Dayah Ule Titi memiliki asrama putra dan asrama putri, dengan jumlah bilik 135 buah, setiap bilik mampu menampung 4-16 santri, memiliki 23 lokal, 7 buah bale beut dan sebuah mushalla yang juga difungsikan untuk kelas mengaji, karenanya terkadang pengajian di mushalla dilakukan di pojok-pojok, sesekali bila ada santri yang ingin membaca lebih keras bisa saja mengusik kelas lainnya di pojok lain.
Abu Cut memperkirakan Dayah Ule Titi butuh setidaknya 5 kelas lagi untuk parasantri, agar pengajian di mushalla bisa dipindahkan ke ruang kelas.
tarmizi alhagu