Serukan Kekhalifahan Islam, Majalah Turki Pro-Erdogan Panen Kecaman

Minggu, 02 Agustus 2020, Agustus 02, 2020 WIB Last Updated 2020-08-02T12:05:36Z


views: 76.91Majalah Turki yang serukan kekhalifahan Islam (inset) dan para warga Muslim berkumpul di Hagia Sophia. Foto/Duvar English

        

ANKARA - Sebuah majalah berita Turki milik kelompok media pro-pemerintah panen kecaman setelah menyerukan deklarasi ulang kekhalifahan Islam di negara itu. Seruan ini muncul setelah Presiden Recep Tayyip Erdogan mengkonversi Hagia Sophi kembali menjadi masjid.

Gercek Hayat, majalah yang dimiliki oleh kelompok media Yeni Safak yang pro-pemerintah, menampilkan bendera kekhalifahan warna merah dari Kekaisaran Ottoman di sampulnya dan bertanya dalam bahasa Turki, Arab, dan Inggris; "Berkumpul untuk kekhalifahan. Jika tidak sekarang kapan? Jika bukan Anda, siapa?".

Majalah itu juga mengatakan bahwa Turki sekarang bebas setelah Presiden Recep Tayyip Erdogan mengkonversi Hagia Sophia kembali menjadi masjid pada awal bulan ini.

Gercek Hayat merupakan majalah yang berhaluan Islamis yang memiliki sekitar 10.000 pelanggan. Namun sampul itu memancing respons keras dari juru bicara Partai Keadilan dan Pembangunan (AKP) Omer Celik. AKP adalah partainya Presiden Erdogan
"Republik Turki adalah negara demokratis, sekuler dan sosial yang diatur oleh aturan hukum," tulis Celik di Twitter, menggemakan artikel pertama dari konstitusi Turki.

“Adalah salah untuk menciptakan polarisasi politik berkenaan dengan rezim politik Turki. Republik kita adalah biji mata kita dengan semua atributnya. Debat dan polarisasi yang tidak sehat di media sosial sejak kemarin mengenai rezim politik kita bukanlah agenda
Turki," lanjut dia, seperti dilansir Middle East Eye, Rabu (29/7/2020).

Debat seperti itu sangat berarti bagi masyarakat Turki sejak pemerintah Erdogan mengkonversi Hagia Sophia kembali menjadi masjid, sebuah langkah yang membatalkan salah satu gebrakan Mustafa Kemal Ataturk ketika dia mendirikan Turki modern setelah Perang Dunia I.

Selama khotbah di Hagia Sophia yang baru saja diubah kembali menjadi masjid, Kepala Direktorat Urusan Islam (Diyanet) Ali Erbas membacakan kutukan yang dikaitkan dengan Mehmed II, yang menargetkan siapa saja yang akan mencoba mengubah bentuk Hagia Sophia dari masjid.

Oposisi sekuler memandang khotbah itu sebagai serangan terhadap Ataturk, yang mengubah bangunan itu menjadi museum sekuler pada 1934.

Ataturk menghapus kekhalifahan hampir 100 tahun yang lalu sebagai bagian dari rakit reformasi sekuler. Selama berabad-abad, Kekaisaran Ottoman telah "mengenakan jubah"khalifah, pemimpin dunia Muslim dan gelar yang diklaim oleh para penguasa sejak
kelahiran Islam pada abad ke-7.

Kaum konservatif religius Turki selalu melihat gerakan Ataturk sebagai sesuatu yang menentang persatuan umat Islam di seluruh dunia, karena di mata mereka, khalifah—seperti Paus di Vatikan—adalah wakil utama dari Islam yang hidup.

Bagi Ataturk, menghapus khilafah atau kekhalifahan sama halnya menghapuskan pusat kekuatan saingan di dalam negara, tetapi hukum yang diratifikasi oleh Majelis Nasional Agung Turki mengalihkan kekuasaannya ke parlemen itu sendiri daripada perdana menteri atau presiden.

Beberapa kubu Islamis Turki sejak itu mengatakan bahwa parlemen sekarang memiliki kekuatan untuk mendeklarasikan seorang khalifah baru, jika diinginkan.

Devlet Bahceli, politisi dari Partai Gerakan Nasionalis (MHP), salah satu sekutu utama Erdogan, juga menentang diskusi kekhalifahan dalam pidatonya awal pekan ini.

"Kasus ini telah ditutup," kata Bahceli, dalam pidatonya di depan kelompok parlementernya. “Kebangkitan kekhalifahan berarti konflik baru dan gangguan domestik yang tak terduga. Tidak ada yang berhak melakukannya."

Kemal Ozer, editor Gercek Hayat, mengatakan dalam serangkaian tweet bahwa kekhalifahan adalah persatuan umat Islam dan bukan lawan Republik Turki.
Sebuah bar di Ankara telah mengajukan pengaduan pidana terhadap majalah tersebut, dengan mengatakan bahwa publikasi itu melanggar hukum yang melarang pemberontakan bersenjata terhadap Republik Turki dan menghasut orang-orang.

Beberapa surat kabar Turki pada hari Selasa mengecam sampul depan majalah itu. Gara-gara menyerukan bangkitnya kekhalifahan, media itu menjadi tending tropic di Twitter, di mana para pendukung dari kubu oposisi melakukan kampanye perlawanan secara online

Debat seperti itu sangat berarti bagi masyarakat Turki sejak pemerintah Erdogan mengkonversi Hagia Sophia kembali menjadi masjid, sebuah langkah yang membatalkan salah satu gebrakan Mustafa Kemal Ataturk ketika dia mendirikan Turki modern setelah Perang Dunia I.

Selama khotbah di Hagia Sophia yang baru saja diubah kembali menjadi masjid, Kepala Direktorat Urusan Islam (Diyanet) Ali Erbas membacakan kutukan yang dikaitkan dengan Mehmed II, yang menargetkan siapa saja yang akan mencoba mengubah bentuk Hagia Sophia dari masjid.

Oposisi sekuler memandang khotbah itu sebagai serangan terhadap Ataturk, yang mengubah bangunan itu menjadi museum sekuler pada 1934.

Ataturk menghapus kekhalifahan hampir 100 tahun yang lalu sebagai bagian dari rakit reformasi sekuler. Selama berabad-abad, Kekaisaran Ottoman telah "mengenakan jubah"khalifah, pemimpin dunia Muslim dan gelar yang diklaim oleh para penguasa sejak
kelahiran Islam pada abad ke-7.

Kaum konservatif religius Turki selalu melihat gerakan Ataturk sebagai sesuatu yang menentang persatuan umat Islam di seluruh dunia, karena di mata mereka, khalifah—seperti Paus di Vatikan—adalah wakil utama dari Islam yang hidup.

Bagi Ataturk, menghapus khilafah atau kekhalifahan sama halnya menghapuskan pusat kekuatan saingan di dalam negara, tetapi hukum yang diratifikasi oleh Majelis Nasional Agung Turki mengalihkan kekuasaannya ke parlemen itu sendiri daripada perdana menteri atau presiden.

Beberapa kubu Islamis Turki sejak itu mengatakan bahwa parlemen sekarang memiliki kekuatan untuk mendeklarasikan seorang khalifah baru, jika diinginkan.

Devlet Bahceli, politisi dari Partai Gerakan Nasionalis (MHP), salah satu sekutu utama Erdogan, juga menentang diskusi kekhalifahan dalam pidatonya awal pekan ini.

"Kasus ini telah ditutup," kata Bahceli, dalam pidatonya di depan kelompok parlementernya. “Kebangkitan kekhalifahan berarti konflik baru dan gangguan domestik yang tak terduga. Tidak ada yang berhak melakukannya."

Kemal Ozer, editor Gercek Hayat, mengatakan dalam serangkaian tweet bahwa kekhalifahan adalah persatuan umat Islam dan bukan lawan Republik Turki.

"Sebaliknya, ini adalah tanah yang akan memperkuat Turki," katanya. "Mengapa mereka yang menolak Uni Islam berjuang untuk menjadikan Turki bagian dari Uni Eropa?."

Namun, sebuah jajak pendapat yang dilakukan tahun lalu menunjukkan bahwa mayoritas warga Turki tidak terlalu bersemangat tentang kemungkinan kembalinya kekhalifahan. Hampir 59 persen dari 2.500 warga di 12 provinsi mengatakan penghapusan kekhalifahan adalah keputusan yang bagus.
(min)
Komentar

Tampilkan

Terkini