https://youtu.be/vSdHB0xgIIE?t=16
Suasana tidak biasa mewarnai gedung DPR Aceh Jumat
pagi (27/05), saat saya datang sekitar pukul 08:30 nuansa sepi begitu terasa. Tidak banyak mobil anggota dewan yang parkir. Tak terlihat pula anggota dewan di sana, atau mungkin saya tidak mengenal mereka
karena memang sudah jarang berkunjung ke gedung legislatif itu.
Pagi itu sedianya akan diadakan
sebuah pertemuan yang dibungkus dengan nama
coffee morning antara insan pers dengan Ketua DPR Aceh. Saya sendiri tidak
mengenal siapa ketua yang baru ini. Dia
baru saja menjabat menggantikan ketua sebelumnya melalui mekanisme Penggantian Antar Waktu (PAW). Hanya
karena mendengar sosok ketua itu berasal dari Buloh Blang Ara, rasa ingin tahu saya muncul.
Buloh Blang Ara adalah sebuah
desa di pelosok Aceh Utara, jaraknya
sekitar 20 kilometer di tenggara Kota Lhokseumawe. Ketika saya ke sana hampir sepuluh tahun yang
lalu, jalannya masih berupa serakan batu berkerikil. Sungguh melelahkan
berkendara di daerah itu. Sepanjang perjalanan kita bisa melihat hamparan sawah
dan beberapa rumah penduduk yang terkadang berjauhan.
Sebelum sampai ke Pasar Buloh Ara
biasanya kita akan bertemu dengan seorang lelaki yang berjalan dengan cara
mengesot. Pria itu tidak memakai baju, berkulit gelap. Di bawah pantatnya ada semacam alas dari ban
mobil, untuk membantunya bergerak agar tidak lecet bergesek dengan
badan jalan.
Di penghujung jalan kita akan
bertemu dengan Pasar Buloh Blang Ara, nuansa tempo doeloe begitu terasa. Pasar itu masih didominasi oleh kontruksi
kayu tidak bertingkat, masih ada orang
jual obat di kaki lima yang dikerubungi
oleh puluhan warga di sana.
Begitulah topografi Buloh Blang
Ara, sebuah pemukiman yang berada
di bawah gunung dengan mata pencaharian warganya
sebagai petani. Tetapi bukan itu yang menarik minat saya bila berbicara Buloh
Blang Ara, desa terpencil ini terkenal
dengan orang-orang cerdasnya. Sebut saja mantan Bupati Aceh Utara Tgk Wahab
Dahlawy, dan Bankir Adnan Ganto dan banyak lagi lainnya.
Kedua tokoh Aceh Utara itu sangat
fenomenal pada zaman mereka, karena
itulah saya ingin tahu tentang Saiful Bahri ini, yang namanya dipanggil Pon
Yahya oleh banyak kalangan. Karena itulah Jumat pagi itu saya bergegas ke DPR
Aceh, gedung yang sudah lama jarang saya kunjungi.
Di sebuah ruangan pertemuan
bersama dengan perangkat DPRA, Pon Yahya duduk berhadapan dengan para wartawan. Dia agak telat hadir, setelah para insan pers lama menunggu, memulai mukaddimah
tentang pentingnya sinergitas antara wartawan dengan dewan.
Lalu diapun beralih berbicara
tentang persoalan empat pulau milik Aceh yang sudah dimasukkan dalam teritorial
Wilayah Sumatera Utara. Saya lihat lelaki muda kelahiran tahun 1977 itu lancar berbicara,
pengetahuannya juga standar. Saya menyimak kata-kata yang keluar dari mulut
lelaki Buloh Blang Ara ini. Dia menjelaskan duduk persoalan bagaimana keempat
pulau sampai dimasukkan kedalam batas wilayah Sumut.
Ketika Pon Yahya memberikan
kesempatan tanya jawab, saya pun ikut bertanya. Namun alih-alih bertanya, saya
malah mengulas perjalanan sejarah Aceh dari tahun 1946. Mulai masa peralihan
kekuasaan T Nyak Arief kepada
Tgk Muhammad Daoed Beureueh, hingga perang Medan Area. Sampai kemudian perjuangan Darul Islam hingga
perdamaian kembali dengan pemerintah Indonesia.
Pon Yahya pun kembali menjelaskan
jika mereka akan mengikuti apa yang tertulis didalam MoU Helsinki dan UUPA. Lalu
dia berbalik bertanya pada saya tentang batas wilayah Aceh pada tahun 1956,
yang menurut dia belum ditemukan sebuah peta tentang batas wilayah itu. Ketua DPRA itu malah mengungkap sebuah kabar
tentang sebuah peta bernama Stablat, yang harus diambil dari negeri Belanda
untuk menemukan misteri peta wilayah Aceh tahun 1956.
Mendengar itu saya pun ikut
berpikir siapa yang memberikan informasi sesat, tentang peta Stablat di Belanda
itu kepada Pon Yahya. Karena tahun 1956 itu adalah kondisi di Aceh pada saat
paling terpuruk, Aceh berada dalam
kegelapan dengan wilayah yang bernama Residen, yang dimulai dari tahun 1950
sampai tahun 1957.
Tahun 1956 adalah tahun paling
berkecamuk perang antara pejuang Darul Islam dengan pemerintah Indonesia. Pemerintah
propinsinya telah berpindah ke Sumatera Timur, Aceh sudah dimasukkan kedalam
Propinsi Sumatera Timur. Semua perangkat pemerintah sipil dan militer telah
dalam bentuk Residen dan Resimen.
Pertanyaan Pon Yahya itu tidak
ada jawaban. Dia harus mencari siapa Residen Aceh masa itu. Pada dialah jawaban
peta wilayah Aceh tahun 1956, atau mungkin misteri itu tersimpan dalam
dokumentasi seorang Residence Aceh bernama Danu Broto. Wallahul Alam Bis
Sawab, semoga Pon Yahya bisa menemukan jawabannya, dan bisa mengembalikan empat
pulau milik Aceh yang sudah dicaplok Sumatera Utara.
Tarmizi Alhagu