Banda Aceh - Hamdani warga Cot Preh, Aceh Besar kebingungan. Dia tidak tahu harus membawa kemana kotoran sapi miliknya. Karena tak punya
solusi lain, lelaki itu menumpuk saja kotoran sapi di kebun belakang kandang
hingga menggunung.
Dia hanya bisa berharap suatu saat ada orang yang datang mengambil kotoran itu untuk dijadikan pupuk tanaman. Persoalan yang berasal dari kotoran sapi ini sudah bertahun-tahun dilakoni Hamdani. Dia rutin menyekop kotoran sapi dari dalam kandang, lalu ditumpuk di kebun. Lalu aromanya menyebar hingga di kejauhan, mulai saat kotoran hewan itu masih basah hingga mulai mengering.
https://youtu.be/Xnc96MyKZGQ
Lelaki usia 50 tahun itu hanya
memiliki enam ekor sapi, tetapi kotorannya selalu memenuhi kandang. Akibat dari
pembuangan sapi milik Hamdani yang terlalu banyak, terkadang kandang miliknya
penuh kotoran sapi hingga terlihat seperti jeratan lumpur.
Hamdani bukanlah seorang peternak
yang memiliki pengetahuan kesehatan hewan yang mumpuni. Sapi miliknya hanya
bertambah nilai jual 3 juta Rupiah dalam setahun, sementara seorang peternak
sapi bernama Zulkifli di desa Weu, Jantho, bisa mendapatkan pertambahan nilai 3
juta rupiah itu dalam tiga bulan.
Sapi-sapi di kandang Zulkifli tidak membuang kotoran terlalu banyak, kandangnya
juga bersih berlantai semen dengan suara musik klasik menghibur 16 ekor sapi
miliknya. “ Sapi disini hanya sedikit membuang
kotoran, lalu saya sekop untuk memupuk rumput,” kata Zulkifli.
Faktor kandang yang bersih
dikatakan Zulkifli membuat sapi miliknya sehat, sehingga tidak membuang kotoran
banyak. Semua yang dimakan sapi menjadi daging, sementara sapi yang membuang
kotoran berlebihan diakibatkan di dalam perut hewan, adanya gangguan kuman yang berasal dari
kotoran sapi di kandang.
Zulkfli dan Hamdani memiliki
kesamaan dalam budidaya sapi. Keduanya sama-sama membudidaya rumput untuk pakan
ternak mereka. Perbedaan diantara kedua
peternak ini adalah dalam pengetahuan terhadap kesehatan sapi.
Penjelasan Dari Pemerintah.
Terhadap persoalan yang berasal
dari Hamdani ini, kami tidak mendapat sebuah jawaban dari pemerintah yang bisa
menjadi solusi. Dari Kadis Peternakan Aceh Zalsufran, ST M,Si hanya sebuah jawaban yang dikirim lewat pesan
WhatsAp.
“ Saya konfirmasi ke Dinas Pertanian Aceh Besar ya, sebaiknya malah bisa diolah jadi pupuk,” dengan gambar emoticon kedua tangan saling menempel di ujung kalimat, sebagai tanda salam. Setelah itu
dia mengirim nomor kontak Kadis Pertanian Aceh Besar.
Dari Kadis Pertanian Aceh Besar
Jakfar, saya mendapat jawaban kotoran sapi bisa diolah menjadi pupuk
kandang atau pupuk organik. Lalu dia
bertanya di mana lokasi kotoran sapi, biar dia suruh untuk ambil bagi yang membutuhkan.
Masih dari pemerintah saya mendapat jawaban dari Kadis Pertanian dan Perkebunan Ir, Cut Huzaimah. Dia mengatakan persoalan kotoran sapi bukan menjadi kerja intansi mereka. Ketika ditanya mungkin bisa dijadikan pupuk? Cut Huzaimah menjawab tidak menggunakan pupuk dari kotoran sapi.
Adun Mukhlis Ikut Bicara.
Sebuah jawaban yang menohok
justru datang dari mantan Bupati Aceh Besar Mukhlis Basyah yang kini memiliki
lebih seratus ekor sapi. Ketika saya mengunjungi kandang milik Adun Mukhlis lebih
dua tahun lalu, lelaki itu mengatakan
pemerintah tidak hadir dalam membina para peternak.
Denmark Punya Solusi
Berbeda pemerintah berbeda pula cara
mengelola sapi. Dalam sebuah kunjungan saya ke Jerman. Melintasi sebuah kota
bernama Urhuus, kota di ujung negera
Denmark yang berbatasan dengan Jerman ini juga memiliki peternakan sapi. Sapinya malah bisa dilihat dari lintasan
Highway.
Di Urhuus tidak ada yang namanya
Dinas Peternakan. Apalagi Dinas
Pertanian dan Perkebunan, baik ditingkat Propinsi atau tingkat Kota. Semuanya
diurus pada tingkat Commune, atau setingkat Mukim di Aceh. Tetapi semua kotoran sapi diproses lalu
disebarkan ke perkebunan kentang.
Tidak hanya kotoran sapi yang diolah di sana, sampah yang berasal dari bahan makanan juga dijadikan pupuk organik. Disebarkan kembali ke perkebunan, begitulah daur ulang di negeri kecil yang bertetangga dengan negara Skandinavia itu.
Lalu kapan di negeri yang mengaku
sebagai bangsa Teulebeh ini akan mampu mengatasi berbagai persoalan masyarakat,
padahal negeri ini memiliki semua intansi dengan struktur sampai ke bawah, bekerjakah mereka ? Atau mereka duduk manis
mengurus administrasi, menanda tangani berkas-berkas, lalu terbang dinas luar kota melalui Bandara Blang Bintang. Sungguh kita hanya bisa bertanya pada rumput yang
bergoyang.
Tarmizi Alhagu