Banda Aceh - Menapaki lorong-lorong Peunayong, sebuah kawasan
pertokoan pemukiman etnis Tionghoa di pusat perkotaan Banda Aceh, memberikan
nuansa yang sungguh berbeda dengan kawasan lainnya di bagian kota yang sudah
berumur lebih VIII abad ini.
Peunayong adalah pusat kota Banda
Aceh di bagian timur, di sebelah baratnya berada kawasan Pasar Aceh. Di sanalah masjid
Baiturrahman kebanggaan rakyat Aceh berada. Sementara Peunayong seperti berada
di planet yang berbeda, kawasan ini dipenuhi oleh gereja dan Vihara Budha.
Antara kedua kawasan pusat Kota
Banda Aceh ini dipisahkan oleh sebuah sungai bernama Krueng Aceh. Membelah tepat di tengahnya sehingga
memisahkan antara Mesjid Baiturrahman di bagian barat, dan Gereja Khatolik
di bagian timur.
Sepanjang jalur Jalan Panglima
Polem Peunayong hingga ke seberang lampu merah persimpangan Pocut Baren, berdiri
banyak rumah ibadah umat Budha, seperti Vihara Maitri dan lainnya. Berbelok ke arah Jalan Pocut Baren, hanya beberapa meter saja sudah berdiri dua buah gereja, ada
sekolah Kristen juga disini.
Kawasan rumah ibadah itu berada
di kawasan Kampung Mulia, kawasan yang juga banyak dihuni oleh etnis Tionghoa. Tidak jauh dari lokasi itu
berdiri lagi sebuah gereja besar, Grreja Batak HKBP di Jalan Pelangi.
Semua kawasan bekas Perkebunan Erpach
dimasa Belanda ini, yang kini berubah menjadi Kampung Keuramat, Laksana dan Mulia. Tidak hanya dihuni oleh para pendatang, tetapi bermunculan pembangunan gereja-gereja
dan vihara yang sangat banyak. Bahkan
dalam posisi berdekatan, menimbulkan ketimpangan dengan keberadaan masjid yang
menjadi tidak dominan di kawasan itu. Padahal Aceh berjuluk Serambi Mekkah yang
mayoritas penduduknya beragama Islam.
Pusat Bisnis
Sebagai pusat bisnis Peunayong
dihuni oleh mayoritas etnis Tionghoa. Kawasan pertokoan di sini menjadi tempat mereka bermukim. Mereka juga memiliki
sebuah organisasi bernama Hakka yang khusus mengurusi komunitas Tionghoa.
Kepemilikan pertokoan juga
didominasi oleh warga Tionghoa, mereka membangun berbagai bentuk toko hingga
hotel di kawasan Peunayong. Terkadang toko yang mereka bangun sudah berubah dari
kondisi semula, yang tadinya dua lantai sudah berubah menjadi tiga, empat
bahkan lima lantai.
Perubahan pembangunan toko ini
terlihat tidak ada yang mengawasi atau melarangnya. Walaupun terlihat sangat
kontras dan berbeda dengan toko di sebelahnya, yang dibangun hanya dua lantai.
Kepatuhan oknum warga Tionghoa
yang membangun toko melebihi yang dibangun semula, menjadi sebuah pertanyaan
dari siapa mereka mendapatkan izin pembangunannya. Ataukah sudah terjadi cincai-cincai
saja antara oknum warga Tionghoa dengan oknum pejabat di Kota Banda Aceh.
Sebuah Lorong Fasilitas Umum Yang Ditutup Di Peunayong |
Mereka juga menutup akses jalan masuk di belakang toko mereka dengan membuat pintu pagar. Memakai jalan umum di samping toko mereka untuk bisnis warung kopi. Berbagai pelanggaran penggunaan fasiltas umum untuk kepentingan pribadi, dilakukan oleh oknum etnis Tionghoa di Peunayong.
Dengan kondisi seperti itu tidak
heran pernah pecah kerusuhan antara warga Aceh dan Tionghoa, akibat beragam persoalan yang terjadi di
Peunayong itu. Pada tahun 1981 sebuah kerusuhan besar terjadi setelah seorang warga Aceh dipukul kepalanya dengan
besi oleh pemilik bengkel sepeda motor di Peunayong.
Persoalan bermula ketika seorang
warga Aceh melakukan perbaikan sepeda motor di bengkel milik Tionghoa, kemudian
pemilik bengkel melakukan perbaikan diluar permintaan pemilik motor. Warga Aceh
ini tidak setuju, lalu kepalanya dipukul dengan besi peralatan bengkel,
kerusuhan pun kemudian meletus.
Kerusuhan itu menyebar hingga ke
daerah lainnya di Aceh. Para mahasiswa dan pelajar turun ke jalan mengamuk
melempar toko-toko milik Tionghoa, yang kemudian dikenal dengan demo
cina. Sejak saat itu kenyamanan Peunayong mulai terganggu, diantara
etnis tionghoa ada yang memilih meninggalkan Aceh.
Meski pernah memiliki kenangan
kerusuhan pada tahun 1981, namun oknum pemilik bengkel di Peunayong belum juga
merubah kelicikan mereka saat memperbaiki motor pelanggan. Masih saja ada yang sengaja melakukan
perbaikan yang menjerat kantong pelanggan, terkadang untuk perbaikan motor
bututpun mereka mengambil tarif yang sudah hampir seharga separuh sepeda motor.
Aksi tipu-tipu oleh oknum etnis
Tionghoa di Peunayong memang belum bisa ditinggalkan. Perlunya keberhati-hatian
dan kejelian dari pelanggan saat menggunakan jasa mereka merupakan faktor yang
sangat mutlak.
Tidak Toleran
Meski rasa toleransi beragama
dari warga Aceh terhadap warga Tionghoa yang non muslim sangat tinggi, namun
tidak demikian dengan mereka. Bila saja ada anggota keluarga etnis Tionghoa
menjadi mualaf, mereka langsung mengucilkan mualaf itu, bahkan warisannya pun
tidak diberi.
Begitulah nasib yang dialami
seorang etnis Tionghoa yang kini menjadi muallaf, yang harus bekerja serabutan untuk menghidupi
dirinya dan anak yang dia miliki. "Peunayong memang berbeda, berbeda
budayanya, berbeda pula toleransinya.”
Tarmizi Alhagu