Jum,at 17 Agustus 1945 Soekarno memproklamasikan
kemerdekaan Indonesia di Pegangsaan Timur, Jakarta. Kini waktu kemerdekaan itu telah berlalu
hingga 78 tahun, sebuah usia yang sangat dewasa. Dewasa untuk ukuran umur
manusia, dewasa juga untuk ukuran sebuah
bangsa.
Kemerdekaan yang diproklamirkan Soekarno itu ternyata
tidak berjalan mudah. Baru saja dia membentuk pemerintahan, sekutu dengan bala
tentaranya masuk ke Indonesia, tujuannya untuk melucuti Jepang, pada kenyataan
mereka menggandeng NICA, tentara Belanda untuk melanjutkan kembali Imperialismenya.
Jakarta dikuasai oleh tentara
sekutu, Pemerintahan Soekarno terpaksa mengungsi ke Yogyakarta. Kemudian
Yogyakarta juga dikuasai oleh Belanda. Soekarno ditangkap dan diasingkan, sementara
pemerintahan dilanjutkan oleh Perdana Menteri Syafruddin Prawiranegara secara
bergerilya.
Dibawah kekuasaan Belanda itu, Jenderal
Soedirman selaku Panglima Tentara Keamanan Rakyat (TKR) melanjutkan perjuangan
dengan bergerilya. Pertempuran pecah di Bandung, Surabaya, Bekasi dan berbagai
tempat lainnya.
Konflik Sosial Aceh.
Di Aceh suasana baru saja berlalu
dari perang saudara, antara Ule Balang Cumbok
yang Pro Belanda dengan Ulama PUSA yang didukung rakyat. Ribuan orang tewas
dalam konflik sosial yang sangat berdarah itu.
PUSA yang memenangkan perang
mengambil alih pemerintahan dari Residen
Aceh Teuku Nyak Arief, Komandan TKR Aceh Kolonel Teuku Syamaun Gaharu
digantikan oleh Manyor Jenderal Teuku Husen Yusuf. Manyor Jenderal (Tituler) Tengku Muhammad Daoed Beureueh kemudian
menjadi Gubernur Aceh Langkat Dan Tanah
Karo.
Dalam suasana genting itu, ketika
seluruh wilayah Indonesia sudah dikuasai oleh Belanda, Abu Beureueh
memerintahkan kepada Manyor Jenderal Teuku Husen Yusuf untuk memobilisasi
pasukan di kota Bireuen.
Seluruh Kesatuan TKR Aceh
mempersiapkan diri untuk menghalau Belanda yang sudah bergerak masuk sampai Besitang. Semua kesatuan dipersenjatai dari Bireuen,
mereka berangkat menuju palagan perang
Medan Area.
Pos-Pos kecil Belanda dikuasai,
sebuah pos besar Belanda di dekat Besitang diserbu oleh Batalion yang dipimpin
Kapten Nazir. Serangan itu gagal, mereka
mundur hingga bergabung dengan pasukan
Mujahidin Teuku Ilyas leube. Serangan ulang kemudian memberi ruang gerak
kepada pasukan Aceh.
Serangan darat itu menghancurkan
moril pasukan Belanda, mereka mundur ke arah timur. Pesawat tempur mereka
membombardir pasukan Aceh, serangan
udara itu gagal. Ditanggapi oleh pasukan Aceh hujan dengan menghujani pesawat
Belanda dengan peluru.
Beberapa pesawat Belanda itu
meledak di udara oleh serangan pasukan Aceh, mereka kemudian kabur kearah Palembang. Seluruh Langkat dan Tanah Karo kemudian dikuasai oleh pasukan Aceh. Sebuah batalion yang dipimpin oleh Teuku
Abdul Madjid Sabi kemudian mengejar pasukan Belanda hingga ke Palembang,
pertempuran kembali pecah di Palembang.
Peran Wartawan Aceh Dalam Kemerdekaan.
Di Bireuen tepatnya di pendopo
Bupati Bireuen sekarang, para wartawan
Aceh menyiarkan perkembangan perang Medan Area melalui Radio Rimba Raya, dengan
perangkat radio yang dibawa pulang oleh
Letnan Jonh Lee dari Temasik, Singapura sekarang.
Siaran Radio Rimba Raya itulah
yang didengar oleh Duta Besar India untuk PBB, tentang perang Medan Area. Dialah yang
bersaksi di Sidang Keamanan PBB bahwa Indonesia masih ada, tepatnya Aceh masih
menjalankan pemerintahan secara normal.
78 Tahun telah berlalu, peran
Aceh dalam menyelamatkan Indonesia sebagai sebuah negara kini sudah terlupakan. Apalagi peran wartawan Aceh, hampir tidak pernah disebut lagi wartawan Aceh
adalah wartawan pejuang, sirna didalam perjalanan sejarah.
Tarmizi Alhagu