Banda Aceh-Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak RI, dan Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Aceh menggelar Pelatihan Jurnalisme Sensitif Gender di Banda Aceh pada 3-4 Mei 2018. Acara tersebut diikuti tiga puluhan jurnalis dari berbagai media cetak, online dan elektronik yang ada di Banda Aceh.
Pelatihan tersebut menghadirkan narasumber Budi Hartono sebagai Kepala Bidang Partisipasi Media Elektronik dan Sosial dari Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak RI, dan Kamsul Hasan sebagai Satgas Anti Kekerasan Dewan Pers.
Plt. Deputi Partisipasi Masyarakat Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak RI, Agustina Erni melalui Kepala Bidang Partisipasi Media Elektronik dan Sosial, Budi Hartono mengatakan pelatihan responsif gender dibutuhkan bagi media untuk membantu para pekerja media memahami, dan mengenali serta mampu menganalisis berbagai fakta, isu dan data dari perspektif gender dan HAM secara terstruktur.
Ditambahakannya penelitian yang dilakukan oleh Media Watch seluruh dunia menunjukkan bahwa berita-berita dan reportase sebagian besar dilakukan dengan cara pandang (perspektif) laki-laki. Media sering membuat kesalahan dengan menganggap bahwa gender sama dengan perempuan, akibatnya muncul pendekatan baru yang melihat perempuan sebagai anggota masyarakat yang dimarjinalisasi (dipinggirkan), dan memiliki kepentingan serta kebutuhan yang khusus, paparnya. Meski ini benar, namun perempuan juga memiliki hak-hak yang sama seperti laki-laki dalam konteks kesetaraan dan keadilan gender, sebut Budi.
Sementara itu, Sekretaris Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Provinsi Aceh, Teuku Syarbaini mengungkapkan dalam 3 tahun terakhir, kasus kekerasan di Aceh cenderung meningkat. Dari keseluruhan kasus pada 2017, kasus kekerasan psikis mendominasi kasus kekerasan terhadap perempuan, KDRT dan kekerasan fisik. Sementara kasus terhadap anak didominasi oleh kasus psikis, pelecehan seksual dan kekerasan fisik, demikian urainya.
Oleh karena itu, menurutnya peran media menjadi sangat penting sebagai mediator, dan jembatan yang bisa membantu pemerintah, dan masyarakat dalam menfasilitasi juga menindaklanjuti penanganan kasus-kasus kekerasan perempuan dan anak yang terjadi dalam masyarakat.
Pelatihan jurnalisme sensitif gender bagi jurnalis media penting, karena dapat membantu para pekerja media untuk memahami bahwa sikap, prasangka, bias dan konstruksi gender telah menguasai media. Dia berharap pekerja media mendapat bekal dan keterampilan teknis untuk menganalisis berbagai fakta, isu dan data dari perspektif gender.
Lebih lanjut Syarbaini mengutarakan media harus lebih peka terhadap pengarusutamaan gender, pemberdayaan perempuan, dan perlindungan anak serta bisa menjadi pengawas yang memberikan kontrol sosial terhadap kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan, dan anak yang terjadi di masyarakat.
Soraya