Jakarta-Hari-hari
yang harus dilalui Plt Gubernur Aceh Nova Iriansyah kini semakin rumit, kemelut
demi kemelut harus dia hadapi untuk
membawa Aceh kearah yang lebih baik, salah satu diantara sekian banyak polemik yang
harus dia tangani adalah persoalan Dana Otonomi Khusus, yang bila tidak
dipertahankan akan segera berakhir setelah masa penggunaannya habis.
Nova merintis jalan panjang dan
memutar, dari pemerintah pusat hingga DPR RI, dia harus memberi alasan yang
cukup kuat kepada kedua lembaga tinggi itu betapa pentingnya dana Otsus untuk rakyat Aceh.
Dana Otsus menurut Nova selama ini
telah menurunkan tingkat kemiskinan Aceh secara signifikan, wilayah yang
puluhan tahun didera konflik bersenjata itu, dampak dari bara perang telah menghancurkan hampir seluruh struktur ekonomi, lalu memunculkan berbagai masalah bawaan dari konflik itu sendiri, kini perlahan
-lahan mulai merangkak menghirup udara segar, membangun dengan sangat pelan
ekonomi yang telah hancur, walau belum secara utuh memberi keesejahteraan kepada masyarakat Aceh
secara umum.
Memuluskan usahanya Nova Iriansyah
juga menggandeng Forum Bersama (Forbes) Aceh untuk memperjuangkan dana Otsus
ini, sebuah wadah tempat berkumpulnya para politisi Aceh yang lolos ke Senayan,
baik dari unsur DPR RI maupun DPD RI, keduanya dilibatkan Nova sebagai ujung
tombak Aceh dipusat kekuasaan Jakarta.
Semangat itu dirangkai Nova dalam
sebuah kesepakatan Pemerintah Aceh, Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA), bersama
anggota DPR/DPD RI asal Aceh yang tergabung dalam Forbes Aceh untuk mengawal dan menjaga keistimewaan dan
kekhususan Aceh.
Kesepakatan penting yang tertuang
dalam Nota Kesepahaman tentang Pembangunan dan Penguatan otonomi Khusus,
Keistimewaan dan Sinergisitas Pemerintahan Aceh dengan Pemerintah Republik
Indonesia yang ditantangani di Hotel Borobudur, Jakarta, Senin siang, 11
November 2019.
Kepala Badan Penghubung Pemerintah
Aceh (BPPA) di Jakarta, Almuniza Kamal, mengatakan kesepakatan itu bertujuan
untuk memastikan implementasi seluruh isi MoU Helsinki dan Undang-Undang Nomor
11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh beserta aturan turunannya berjalan
sebagaimana mestinya. “Nantinya akan dibentuk Sekretariat Bersama di Banda Aceh
dan Jakarta,” kata Almuniza dalam keterangan tertulis.
Dalam pertemuan itu, Pelaksana Tugas
Gubernur Aceh Ir.Nova Iriansyah mengatakan salah satu yang akan diperjuangkan
adalah perpanjangan Dana Otonomi Khusus Aceh secara permanen.
“Dana Otonomi Khusus terbukti telah
menurunkan angka kemiskinan di Aceh. Jika dilihat dari masa konflik hingga
sekarang, penurunannya mencapai 20 persen. Jadi tidak benar kalau ada yang
mengatakan dana otonomi khusus Aceh hanya dinikmati oleh para elite,” kata Nova
Iriansyah.
Menurut Nova, pihaknya telah
mendapat sinyal positif dari Presiden Joko Widodo (Jokowi) soal perpanjangan
dana otonomi khusus itu. Namun, menurut Nova, karena menyangkut peraturan
perundang-undangan, Presiden Jokowi mengatakan untuk itu perlu dikomunikasikan
dengan DPR RI.
“Kita berharap otonomi khusus ini
jadi permanen. Pembicaraan permulaan sudah dilakukan dengan Presiden Jokowi.
Namun karena ini undang-undang kita juga harus bicara dengan DPR. Secara prosedur,
itu harus masuk Prolegnas dulu pada 2020. Insyallaah paling telat 2021.
Sehingga pada 2022, angka 2 persen dari Dana Alokasi Umum bisa dipertahankan
permanen,” ujar Nova.
“Karena itu, pertemuan hari ini
intinya menyelaraskan kerja pemerintahan daerah dengan apa yang menjadi
kewenangan anggota DPR dan DPD RI,” sambung Nova Iriansyah.
Nova mengatakan, pergantian aparatur
negara di tingkat Pusat terkadang membuat filosofi kekhususan Aceh tidak
dipahami secara utuh.
“Itu sebabnya, selain menjalankan
tupoksi yang normal anggota DPR RI, mereka juga kami minta tolong untuk
menjelaskan secara utuh bahwa Aceh itu punya kekhususan, supaya ke depan tidak
ada gerakan-gerakan yang yang menafikan kekhususan Aceh. Aceh itu bisa maju dan
kemajuan Aceh itu membawa kemajuan bagi negara Indonesia sekaligus,” kata Nova
Iriansyah.
Menurut Nova, selain soal
perpanjangan dana otonomi khusus, yang paling penting sekarang adalah mengambil
alih pengelolaan Blok B, ladang minyak dan gas bumi di Aceh Utara yang sebelumnya
dikelola Exxon Mobil dan saat ini dikelola oleh BUMN Pertamina Hulu Energi.
“Kontraknya sebenarnya sudah habis
sejak 18 Oktober 2018. Nah, setahun itu kita bernegosiasi tapi Pertamina Hulu
Energi bertahan dengan skema Gros Split,” kata Nova.
Padahal, kata Nova, berdasarkan
peraturan perundang-undangan Aceh diberi kewenangan untuk mengelola
pertambangan sesuai kekhususan Aceh.
“Kita mintanya cost recovery. Sudah
setahun berunding tidak ketemu. Maka pada 3 Oktober 2019 setelah berkonsultasi
dengan DPRA, Pemerintah Aceh memutuskan mengambil alih. Sebenarnya ini hal yang
biasa-biasa saja karena aturannya sudah mendukung, tapi harus ada proses untuk
itu dan mungkin harus ada keihklasan Pemerintah Pusat. Kalau mampu tidak mampu,
kami nanti tentu berpartner dengan pihak ketiga yang mampu mengelola itu,”
tambah Nova.
“Saya pikir Blok B salah satu alat
untuk mempercepat pengurangan kemiskinan di Aceh,” sambung Nova.
Ketua Forbes DPR/DPD RI asal Aceh M.
Nasir Djamil menyambut baik rencana itu. Menurut Nasir Djamil, pertemuan
bersama dengan Pemerintahan Aceh menjadi momen bersejarah.
“Harapannya dengan adanya sinergi
dan kolabirasi seperti ini dapat menjadi energi dalam membangun Aceh lebih
hebat lagi,” kata Nasir.
Selain Nasir Djamil, turut hadir
sejumlah anggota DPR dan DPD RI lainnya. Dari Aceh, turut hadir Ketua DPR Aceh
dan sejumlah Wakil Ketua. Hadir juga Sekda Aceh dan sejumlah Kepala SKPA.
Kepala Bappeda Aceh Ir Helvizar Ibrahim memandu jalannya diskusi.
Ketua Sementara DPR Aceh Dahlan
Jamaluddin mengatakan pertemuan tesebut sebagai bagian dari upaya sinergisasi
untuk saling menggandeng tangan menjaga keistimewaan dan kekhususan Aceh.
“Jadi tidak ada alasan bagi Aceh
untuk tidak maju dan kembali ke kejayaannya. kita punya semua potensi yang
diperlukan. dan juga secara regulasi kita memiliki otonomi yang asimetris. kita
punya undang-undang keistimewaan dan undang-undang kekhususan Aceh. Jadi Aceh
daerah yang istimewa dan khusus,” kata Dahlan.
Dahlan juga berharap di periode
kedua pemerintahan Presiden Jokowi, Aceh mendapat agenda pembangunan prioritas
yang maksimal.
“Kita tahu bersama, Aceh punya
riwayat konflik yang panjang sejak di awal-awal kemerdekaan. Jadi harus ada
pendekatan yang holistik dan perlu adanya kebijakan-kebijakan khusus. Kita dari
DPR Aceh, Pemerintah Aceh dan juga bersama Forbes Aceh akan bergandeng tangan
bersama-sama meyakinkan Pemerintah Pusat untuk mempermanenkan dana otsus Aceh,”
tambah Dahlan.
Para pemimpin Aceh telah merentangkan
layar untuk mempermanenkan dana Otsus untuk Aceh, usaha mereka sudah membentang
didepan meja pemerintah pusat, kini rakyat tinggal menunggu bagaimana hasilnya, akankah sejarah kelam dari Misi Hardi di Aceh bakal terulang, ataukah
pemerintah pusat akan jujur, untuk mencegah Aceh menuntut kembali haknya
seperti pada masa-masa yang silam.(***)
Adventorial.