Lampriet adalah sebuah sejarah,
rentang jejak perjalanan Aceh sebagai sebuah propinsi terekam disana, karena dilokasi
inilah pertama dibangun pemukiman
pejabat Aceh, yang berasal dari pegawai-pegawai
yang dibawa oleh Gubernur Ali Hasymi untuk membangun Aceh.
Mereka didatangkan dari Sumatera Utara dan beberapa daerah lainnya. Lamprit adalah pemukiman multi etnis pertama di Aceh, disini ada orang jawa, orang aceh, orang minang, orang batak dan berbagai etnis lainnya.
Mereka tinggal menurut kelompok
pekerjaan masing-masing, yang bekerja di kantor Gubernur tinggal di jalan Gabus
(sekarang jalan Ayah Hamid), yang bekerja dikantor keuangan di jalan Pari,
Todak dan Bawal.
Para Guru di jalan Tenggiri,
Salam dan jalan Mujair, Mereka inilah penghuni awal Lampriet, merekalah yang
mula-mula menjadi pejabat di Aceh , sebelum organisasi pemerintahan berkembang
seperti sekarang ini.
Semua itu berawal dari Ali Hasymi
yang setelah diangkat menjadi Gubernur Aceh pada tahun 1957 mengalami kesulitan
dalam melaksanakan tugasnya, setelah Abu
Beureueh dan pengikutnya mengobarkan perjuangan Darul Islam, dia juga membawa
para pegawai kantor Gubernur dan cerdik pandai Aceh ikut bersamanya.
Tokoh-tokoh seperti A.Gani Usman
(Ayah Gani), Ayah Hamid, H.Abu Bakar Bireuen, Hasan Saleh, T.A.Hasan, Zaini
Bakrie, A.G.Mutiara, Husen Mujahid dan banyak tokoh utama lainnya naik kegunung,
berikut para tentara loyalis Abu Beureueh berjuang bersamanya.
Atas kekurangan pegawai itulah
kemudian Gubernur Ali Hasymi berupaya mengumpulkan orang Aceh yang tersebar
diberbagai daerah di Indonesia, dibawa pulang ke Banda Aceh, namun semua orang
Aceh yang pintar itupun belum cukup untuk kebutuhan pekerjaan di Propinsi Aceh.
Dibawa jugalah etnis non Aceh
yang bersedia membangun Aceh dari berbagai daerah lain, karena mereka tidak
memiliki tempat tinggal, maka Gubernur A.Hasymi membangun perumahan dikawasan
Lampriet sekarang.
Kala itu ditahun 1957 kawasan
Lampriet masih merupakan pelosok yang jauh dari pusat kota Banda Aceh, tanahnya
berupa rawa yang direndam air sampai setinggi pinggang, dengan dibantu seorang
kontraktor etnis tionghoa.kata Lukman generasi kedua Lampriet.
Pelaksanaannya diawasi oleh
seorang wanita batak yang dikawal seorang aparat kepolisian bernama Muhammad
Djamil.(beliau kemudian menjadi Bupati Aceh Tengah dengan pangkat terakhir
Kolonel), ujar Zulkifli seorang warga Lampriet generasi kedua.
Dibangunlah perumahan Lampriet
dengan master plain terbaik pada zaman itu, didepan rumah memiliki jalan yang
luas, ada saluran pembuang didepan dan belakang rumah, lokasi untuk sarana
ibadah dan pendidikan juga disediakan.
Rumah juga dibangun dengan bangunan permanen, menggunakan batu
bata tebal sebagai dinding, atap dibuat berbentuk Linmas, memiliki halaman depan
dan belakang, hingga kini setelah lebih 60 tahun kekokohan rumah Lampriet masih
teruji, masih ada bangunan lama yang
belum dirubah sampai kini, hanya
mengalami penambahan saja dibelakang dan dibeberapa sisinya.
Menurut Drs.Ramli Gani (putra
tokoh Darul Islam Ayah Gani), meski dibuat sangat layak, rumah Lampriet tidak
semua dihuni oleh pemiliknya, sebagian PNS yang memiliki kelebihan uang memilih
menyewa rumah dikawasan Spordek, yang berada dipusat kota.
Kondisi itu dikatakan Ramli Gani
sebagai akibat perumahan Lampriet berada terlalu jauh dari tempat mereka
bekerja, dengan trasportasi sepeda pada masa itu, Lampriet masih menjadi
kawasan yang sangat jauh ditempuh dengan mengayuh sepeda.
Menurut Lukman para penghuni
Lampriet itulah yang menjadi ujung tombak pembangunan Aceh dimasa itu, baik
dari sektor pendidikan, Infra struktur dan berbagai sektor lainnya, para
guru-guru di Lapriet lah yang mengajarkan guru-guru lain untuk menjadi pendidik
di Aceh semula.
Kala itu kata Lukman belum banyak
organisasi pemerintahan seperti sekarang ini, yang ada hanya kantor Gubernur
dan kantor P dan K, selebihnya para
tentara yang menjalankan pemerintahan, kata dia.
Asrama Dewan Revolusi.
Kemudian setelah perdamaian
antara Darul Islam dan Pemerintah Indonesia pada tahun 1959, Para tokoh Darul
Islam dan Komandan Bataliyon juga tinggal disana, disebuah asrama bernama
asrama dewan revolusi, berada dibagian barat lamprit, kini lokasinya tepat didepan Praktek dokter Cempaka Lima.
Pemerintah membangun dua barak
untuk para komandan Darul Islam di Lamprit, lengkap dengan sarana olah raga
berupa sebuah lapangan sepak bola, sarana umum lainnya, juga lahan untuk
pertanian atau perkebunan yang berbatas dari rumah Manyor Hamdani (rumah dinas
Bank Indonesia sekarang) disebelah timur hingga kedepan jalan SMA 3 sekarang,
dari depan berbatas dengan jalan Teuku Nyak Arief hingga ke jalan Gabus.
Pembangunan asrama dewan revolusi
untuk tentara Darul Islam adalah sebagai kompensasi perdamaian dari pemerintah
Indonesia, diberikan setelah kedatangan Mr.Hardi ke Banda Aceh pada tahun 1959,
setelah perundingan panjang antara tokoh DI/TII A.Gani Usman (Ayah Gani) dan
Hasan Saleh dengan permerintah Indonesia.
Pada tahun 1963 Bupati Aceh Besar
Tgk.Zaini Bakrie melakukan kembali penjualan tanah untuk para perwira TNI saat
itu, dengan batas dari perumahan dinas Lamprit disebelah timur hingga ke jalan
Kumera 1 sekarang disebelah barat. Disanalah kemudian para pejuang kemerdekaan
membangun rumah mereka.
Begitulah kisah awal mula
perumahan Lampriet yang kini berubah menjadi kawasan elite sebagai tempat
tinggal mantan pejabat, dari Gubernur hingga pejabat dibawahnya.
Kini Lampriet telah merubah
sedikit aura utamanya, kawasan itu tidak hanya ditinggali oleh keluarga mantan
pejabat, sudah banyak penghuni baru ikut tinggal dikawasan itu, sebut saja
pengusaha kaya Aceh seperti Lukman Kande Agung membeli rumah dijalan Bawal,
Toke Ali Sinar Desa membeli rumah di jalan Todak, mantan Bupati Aceh Utara Tarmizi A.Karim
membangun rumah di jalan Todak.
Masih banyak pejabat-pejabat yang
kemudian menjadi orang kaya ikut membeli rumah di Lampriet, mereka bertebaran
di jalan Bawal, jalan Todak, Jalan Mujair, demikian juga orang-orang kaya baru
yang kini mampu membeli rumah di Lampriet menjadi penghuni kawasan elite itu
pada masa sekarang.
Tarmizi Alhagu.