Letnan (Purn) Ilyas Abdullah |
Banda Aceh - Hari ke empat Idul Fitri
lalu, saya berkunjung ke sebuah rumah di kawasan Keutapang, Aceh Besar. Rumah itu adalah milik orang tua dari teman
saya yang kini bertugas sebagai seorang hakim di PN Pekan Baru.
Bersilaturhami
dengan orang tua dari teman saya itu, sungguh membuka cakrawala saya. Menambah
perbendaharaan wawasan saya, dan yang tidak saya sangka dia adalah Letnan Ilyas
Abdullah, prajurit terakhir Batalion 110 yang masih hidup.
Prajurit dari Batalion ini direkrut langsung oleh
komandan mereka Kapten Hasan Saleh pada tahun 1950, memiliki hanya empat kompi. Inilah batalion TNI paling mengerikan yang pernah ada. Setelah Batalion 110 selesai terbentuk, mereka dikirimkan ke medan perang Sulawesi Selatan untuk menumpas pemberontakan
DI/TII Kahar Muzakar.
Kahar Muzakar Menyerah
Keberangkatan
Batalion 110 ke Makasar tanpa dibekali persenjataan yang cukup. Separuh senjata
batalion ini ditinggal di Aceh, dengan janji akan diganti oleh Kodam di Medan,
namun janji itu tidak pernah terlaksana.
Melalui
perjalanan laut Batalion 110 tiba di Makassar. Satu hari setelah mereka sampai, di meja
Kapten Hasan Saleh telah tergeletak sebuah surat yang diletakkan oleh seorang
kurir. Isinya pimpinan DI/TII Kahar
Muzakar meminta berdamai dengan pasukan Aceh.
Kahar Muzakar
mengungkapkan tidak ingin berperang dengan prajurit Aceh. Kisahnya berlanjut hingga semua pejuang
DI/TII Kahar Muzakar turun gunung. Mereka menolak berperang melawan prajurit Batalion 110.
Pasukan Tak Mempan Peluru.
Usai membawa
turun semua pejuang DI/TII Kahar Muzakar, Batalion 110 dikirim lagi ke Manado. Di sana mereka harus menumpas pemberontakan dr Soumokil. Malam pertama mereka tiba, Kapten Hasan Saleh yang terpisah dari
pasukannya mendapat serangan. Beruntung dia dapat selamat dan bergabung kembali
dengan pasukan Batalion 110.
Beberapa waktu
kemudian Kapten Hasan Saleh melakukan serangan balasan. Bergugurunlah
pemberontak dr Soumokil, sementara prajurit Batalion 110 yang terkena
tembakan, hanya dalam beberapa detik bangkit kembali membalas serangan.
Sejak saat itu
pemberontak dr Soumokil tidak pernah punya nyali lagi untuk menyerang prajurit
Aceh. Sampai mereka kembali, Batalion 110 hanya melaksanakan tugas pembinaan teritorial,
sementara pemberontak pimpinan dr Soumokil lari menyelinap ke gunung.
Prajurit Heiho Yang Gagal Dikirim Ke
Australia
Kepada saya, Letnan Ilyas Abdullah yang kini berusia lebih
100 tahun mengungkapkan, dia semula direkrut oleh tentara Jepang untuk dikirim
ke Australia. Namun setelah usai
pendidikan militer di Blang Pulo - Lhok Seumawe,
Kota Hiroshima dan Nagasaki dibom pasukan Amerika, sehingga batallah
mereka dikirim bertempur menyerang Australia.
Perjalanan kemiliteran dirinya diakui Ilyas Abdullah pernah berperang melawan Belanda di
Medan Area. Dia menyaksikan langsung keunikan pejuang Aceh dalam bertempur. Ketika pesawat pembawa bom Belanda muncul, prajurit Aceh bukannya bersembunyi,
tetapi keluar semua menembak pesawat Belanda. Hasilnya, pesawat tempur Belanda tidak sempat
menjatuhkan bom dan memuntahkan peluru.
“
Tentara-tentara Aceh itu semua keluar dari lubang menembaki pesawat tempur
Belanda. Peluru bagai hujan melesat ke langit, semua prajurit mencari mati
syahid dalam perang Medan Area, " ujarnya.
Begitulah
kisah Letnan Ilyas Abdullah, kemudian dia bangkit dari tempat tidurnya yang
berada di teras rumah. Dia mengambil wudhu untuk melakukan Shalat Dhuhur. Saya pun memohon diri seusai dia shalat, dan mengucapkan terimakasih telah diberikan kesempatan untuk mendengar
penggalan sejarah paling berharga darinya.
Tarmizi Alhagu