Perjalanan Pers Aceh
tidak terlepas dari kehadiran negara Republik Indonesia, diawali oleh
Eksistensi Radio Rimba Raya yang diudarakan oleh Divisi 10 TKR dari markas mereka di Bireuen.
Radio Rimba Raya mengawali
kehadiran Pers di Aceh sebagai Pers perjuangan, yang menyiarkan pertempuran
antara TKR Aceh melawan Belanda di Medan Area pada masa agresi Belanda , dibawah pimpinan Panglima
Divisi 10 Manyor Jenderal Teuku Husen
Yusuf bersama istrinya Umi Salamah. Radio Rimba Raya memberi semangat perjuangan
kepada para tentara dan rakyat yang bertempur mengusir Belanda.
Husen Yusuf adalah seorang
Jurnalis yang sebelum kemerdekaan bekerja pada sebuah media asing. Setelah TKR
Aceh terbentuk, dia diangkat menjadi Wakil Komandan II TKR Aceh. Jabatan itu
kemudian berubah seusai Revolusi Cumbok, Husen Yusuf Menjadi Panglima Divisi 10
bersamaan dengan Tgk.Muhammad Daoed Beureueh Menjadi Gubernur Militer Aceh,
Langkat dan Tanah Karo.
Setelah Pensiun dari Militer,
Husen Yusuf mendirikan sebuah media cetak bernama Atjeh Post, media itu masih bertahan hingga era awal tahun
2000 yang dikelola oleh putranya Teuku Muhammad Ghazie.
Pers Aceh kemudian meninggalkan era Perjuangan dengan
kehadiran media cetak baru seperti Peristiwa, Taufan, Duta dan berbagai media
lainnya yang hadir mewarnai kehidupan Pers silih berganti.
Pada Era tahun 1980-an dimulai kehadiran Pers yang terkontrol, dengan kehadiran organisasi wartawan bernama
PWI, Ketua pertamanya adalah Drs Dahlan Sulaiman. Dialah yang mendirikan
kehadiran PWI di Aceh, selanjutnya PWI dipimpin oleh Tia Husphia, Samsul Kahar
memimpin PWI selama tiga periode.
Pada Era Samsul Kahar sebagai
Ketua PWI, anggota PWI Aceh hanya ada 12 orang. Selama dua periode kepemimpinan
awal Samsul 12 orang anggota itu tetap bertahan, yang berubah hanya posisi
orangnya, biasanya Ketua LKBN Antara Aceh yang berubah karena terjadi
pergantian pimpinan di Aceh.
Perubahan dari 12 orang itu baru
terjadi setelah tahun 1989 dengan kehadiran media cetak Serambi Indonesia. Masuknya wartawan-wartawan Serambi ke dalam
Organisasi PWI memberi nuansa baru perubahan Pers di Aceh.
Setelah Samsul Kahar digantikan
oleh Adnan NS sebagai Ketua PWI, barulah PWI mengalami banyak perubahan. Adnan
memasukkan banyak wartawan menjadi anggota PWI, organisasi itu kemudian menjadi
gemuk dan terlihat lebih demokratis.
Era Adnan berlalu dengan
kepemimpinan Drs A Dahlan TH, Tarmilin Usman hingga Nasir Nurdin yang kembali
memberi warna Pers yang baru. Ketiga Pemimpin PWI terakhir tidak lain adalah wartawan-wartawan yang dididik oleh Samsul Kahar di organisassi PWI dan
Media Serambi Indonesia.
Datangnya Era Digital memberi
perubahan yang sangat signifikan pada kehidupan insan pers. Hadirnya
media-media berbasis online, dibarengi kemunculan organisasi Media baru dan Organisasi Wartawan baru, membuat
pertumbuhan wartawan cukup banyak di Aceh. Diperkirakan saat ini sudah ada
sekitar 400 Media di Aceh, baik cetak maupun Cyber Media.
Era digital membuat siapa saja
bisa menjadi wartawan. Siapa saja bisa menjadi pemilik media, maka bermunculan
tukang ikan, tukang lotere, pengacara, aktivis LSM, pedagang kali lima, tukang jual jam palsu di
Pasar Aceh juga menjadi wartawan.
Mulailah Aceh mengenal kehidupan pers yang tidak terkendali. Kemunculan banyak media yang tidak dibarengi dengan
Profesionalisme dan ketaatan kepada hukum Pers, membuat berbagai ketimpangan di lapangan. Dari mulai marketing hingga peliputan,
membuat suasana kesakralan Pers menjadi sebuah lelucon di dunia maya.
*Tulisan Ini Dibuat Untuk Memperingati Hari Pers Nasional.*